Selasa, 18 November 2008

RONGGENG DUKUH PARUK


Judul buku : Ronggeng Dukuh Paruk
Pengarang : Ahmad Tohari
Ukuran : 15 x 21 cm
Tebal : 397 halaman
Terbit : 1986, recover Januari 2003
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

Ronggeng Dukuh Paruk merupakan karya trilogi dari Ahmad Tohari, terdiri dari Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus, dan Jantera Bianglala. Ciri khas Tohari dalam setiap novelnya terdahulu juga terasa kental di novel ini. Kesan deskriptif yang kuat dan begitu membangunkan bulu-bulu khayalan pembaca, juga ragam bahasa daerah yang menguatkan lugunya kesan kedesaan.
Memainkan Rasus dan Srintil sebagai peran utama, dilatarbelakangi masa politik kapitalisme pada zaman itu, Tohari berhasil mengusik pembaca untuk menuntaskan cerita sampai halaman terakhir.
Tokoh Rasus remaja yang polos, sederhana dan selalu membuka khayalannya tentang bagaimana sosok ibunya yang tak pernah dilihatnya sejak masih bayi. Hingga ia kemudian memutuskan untuk menempatkan bayangan ibunya itu pada diri Srintil, temannya sesama warga Dukuh Paruk yang kemudian dinobatkan sebagai Ronggeng.
Srintil hidup dalam keluarga kekolotan, penuh kebanggaan diri dan suka dengan uang. Ia menjadi Ronggeng yang selama 12 tahun dinanti Dukuh Paruk. Sejak memiliki jiwa Ronggeng, secara itu pula Srintil menjadi milik seluruh warga Dukuh Paruk. Namun perhiasannya yang berharga, yaitu keperawanannya, secara tulus ia serahkan pertama kalinya kepada Rasus pada malam Bukak Kelambu.
Dukuh Paruk dengan kemesuman dan kekolotannya mulai mengalami epik berkepanjangan sejak Srintil meronggeng diluar daerah dan dituduh sebagai anggota PKI. Dan elegi yang berkaitan antara dirinya, Rasus dan juga Dukuh Paruk menjadi sangat mengharu biru pembaca.
Alur cerita novel ini mengalun begitu tenang dan membuai pembaca, hal itu membuat setiap bagian cerita yang semestinya mendebarkan menjadi terasa biasa saja dan membuat pembaca menunggu apa selanjutnya yang ditampilkan kisah itu.
Bahasa penceritaan yang digunakan Tohari sangat menghidupi kisah Dukuh Paruk dan tokoh-tokoh didalamnya. Hanya saja beberapa bahasa daerah yang terkesan kasar tampaknya terlalu berlebihan untuk digunakan dan sulit dimengerti pula. Ukuran font yang digunakan juga terlalu kecil sehingga tidak mudah dibaca.
Dibandingkan dengan Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis, Ronggeng Dukuh Paruk terkesan lebih komunikatif dan lebih indah pendeskripsiannya. Terlepas dari semua itu, adanya novel Ronggeng Dukuh Paruk menambah keanekaragaman sastra Indonesia dan mendapat pujian hampir dari setiap lapisan masyarakat.

PRITA

Prita sibuk menyusun kata-kata untuk puisinya. Matanya hanya tertuju pada jendela kelas yang menujukkan padanya bahwa cuaca diluar sedang hujan. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya. Sudah 7 tahun kami bersahabat, tapi tak sekalipun aku bisa menebak jalan pikirannya.

Aku melihat jam. Pelajaran bahasa Indonesia masih satu jam lagi. Sekarang, aku masih memikirkan tema puisiku. Aku benar-benar tidak menyukai ini. Prita yang pandai membuat puisi sudah menyerahkan tugas tadi. Sepertinya di kelas hanya aku yang belum selesai. Bu Sarah menghampiriku dan melihat tugasku.

“ Andisa, kenapa tugasnya belum selesai juga ?”, tanya Bu Sarah dalam bahasa isyarat.

Aku hanya tersenyum. Malu untuk mengakui bahwa aku tidak punya bakat berpuisi. Berbeda dengan Prita yang di buku tulisnya selalu tertoreh angka 8 atau 9 pada pelajaran membuat puisi. Tetapi Prita dan juga teman sekelas kami tentunya walaupun mampu membuat puisi, kami tak bisa membacanya. Bukan karena malu atau grogi. Tapi kami ini penyandang cacat. Keterbatasan fisik inilah yang membuatku duduk disini, di SLB Tunas Indonesia.

Sebagian temanku ada yang kurang mampu. Sedangkan aku sangat merasa beruntung. Ayahku adalah seorang dokter spesialis kulit dan ibuku berprofesi sebagai arsitek. Sepanjang pengamatanku, ayah dan ibu tidak pernah merasa malu atau kecewa terhadapku. Mereka sangat baik. Saat aku masih kecil, seringkali kusangka aku ini anak pungut. Kekhawatiranku ini sempat membuatku memilih untuk kabur dari rumah. Tapi niat itu urung aku lakukan ketika aku menyadari bahwa wajahku sangat mirip dengan ayah dan ibu. Bahkan lebih mirip dibanding dengan ketiga adikku.

Bukti bahwa ayah dan ibu sangat menyayangiku tercermin melalui namaku, Andisa Mentari Davita. Nama ‘Andisa’ diambil dari singkatan ‘anak Rahardi Barito dengan Malisa Soekandar. Sedangkan ‘Davita’ diambil dari bahasa Inggris ‘davit’ yang artinya dewi. Jadi, aku diharapkan menjadi seorang dewi mentari yang membawa kehidupan dan cahaya di setiap rongga-rongga kehidupan.

***

Jam terus berdetak menandakan waktu tak pernah kembali lagi. Aku sedang di kamar membuat sebuah gambar di sehelai lembaran kertas. Setelah selesai, aku turun ke ruang keluarga untuk menunggu ayah menjemput Prita dari sekolah.

Prita termasuk anak dari keluarga kurang mampu yang ada di sekolahku. Ayahnya meninggal dua hari sebelum Prita lahir karena gangguan pada paru-parunya. Sebenarnya jika ayahnya masih ada, mungkin keadaan ekonominya tidak akan buruk seperti ini. Pekerjaan ayahnya dulu lumayan untuk hidup mapan karena ayah Prita adalah seorang pilot. Setelah Prita lahir, keadaan jadi benar-benar buruk karena ibunya tak pernah bekerja di luar rumah. Untungnya ibunya masih punya tabungan dan warisan yang cukup banyak walaupun hanya untuk beberapa tahun. Dan setelah tabungan itu menipis, ibu Prita yang biasa kupanggil Tante Rida bekerja sebaigai kepala bagian rumah tangga SLB Tunas Indonesia hingga kemarin. Ya, hanya hingga kemarin. Karena Tante Rida telah meninggal dunia tadi pagi.

Ibu duduk menemaniku menunggu Prita. Mulai saat ini, Prita tinggal di rumah ini karena ia tidak punya saudara. Sekitar beberapa menit kemudian, Prita turun dari mobil bersama ayahku disampingnya. Matanya yang sembab menyiratkan sebuah kepiluan yang luar biasa. Walaupun begitu, ia mencoba menyembunyikannya dariku. Aku tersenyum sembari menyembunyikan rasa iba padanya. Aku tersenyum yang kuperlihatkan padanya untuk menandakan bahwa ia tidak pernah sendirian. Ada aku yang selalu setia disampingnya.

***

Pukul 11.50, aku terbangun karena lapar. Lalu aku turun ke lantai bawah untuk mengambil beberapa cemilan. Lampu semua ruangan belum dinyalakan. Setelah mengambil sebatang coklat susu dan seporsi pasta keju yang mulai dingin, aku kembali ke kamar.Prita yang tidur di kamarku tetap tertidur pulas. Tidur yang damai dalam kesedihan.

Aku memperhatikannya. Aku selalu kagum padanya. Prita adalah orang paling optimis dan paling semangat menghadapi hidup walaupun kami adalah penyandang tuna rungu. Selalu tertanam di pikirannya untuk menjadi seperti Helen Keller yaitu seorang penyandang cacat ganda, tuna netra dan tuna rungu yang menjadi lulusan penyandang cacat pertama di Universitas Harvard dengan nilai summa cum laude. Prita memang ingin untuk belajar hingga ke tingkat universitas.

Ia sadar itu tidaklah mudah bagi orang seperti kami. Tapi ia meyakini bahwa tiada yang tidak mungkin.

***

Hari ini, aku ditunjuk sebagai pembicara di acara launching buku kumpulan puisi karyaku. Buku itu menjadi best seller dan puisi yang paling disukai adalah puisi yang berjudul ‘Prita’. Aku memang mengisahkan kisah hidup Prita dalam sebuah puisi. Aku berdiri sebagai sastrawati. Di sampingku, ada penerjemah bahasa isyarat yang setia mengutarakan maksud ‘bahasaku’ kepada audiens. Aku sendiri terkadang merasa heran bagaimana bencinya aku terhadap pelajaran membuat puisi.

Prita, sekarang juga menjadi orang sukses. Ia memimpin sebuah perusahaan furniture terbesar. Selain itu, beberapa tahun lalu kami membuat negeri ini gempar karena kami adalah wanita penyandang cacat pertama yang lulus dengan nilai tertinggi di salah satu universitas termuka di ibukota.

Mempunyai seorang kawan seperti Prita seperti mempunyai seorang malaikat yang selalu membisikkan kata-kata semangat walaupun aku tidak bisa mendengar.

MANISNYA BAHASA INDONESIA

Bayangkan, kebiasaan Anda ketika berbicara dengan teman yaitu dengan menggunakan bahasa yang nota bene agak kasar, kemudian suatu hari Anda berbicara dengan seseorang yang lebih tua atau sekedar teman yang bahkan usianya hanya tiga tahun lebih tua dari kita. Setelah agak lama berbicara dengannya tiba-tiba kata yang agak kasar itu keluar dari mulut kita. Apa yang terlintas di benak Anda? Mungkin Anda berpikir bahwa diri Anda tidak tahu sopan santun, tidak bisa membawa diri, dan mungkin Anda akan malu serta lekas mengkoreksi salah kata Anda tadi, meskipun lawan bicara Anda menganggap hal itu adalah biasa.
Kami pernah beberapa kali merasakannya, karena kami meliki teman yang usianya tiga tahun lebih tua atau bahkan lebih dari usia kami. Dari situ saya rasakan bahwa penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar itu sangat sopan dan sangat membantu saya dalam percakapan baik itu dengan sesorang yang lebih tua atau yang lebih muda sekalipun.
Bukan bermaksud untuk menyalahi penggunaan dalam singkatan-singkatan yang kurang baik, bahasa gaul, bahasa asing, bahasa serapan yang kurang baik atau bahasa daerah yang agak “pedas”, tetapi alangkah baiknya jika kita menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar yang telah disempurnakan menjadi lebih teratur dan lebih sopan dari sebelumnya. Bukankah menyenangkan dapat menyenangkan orang lain? Bukankah itu dapat menjadi identitas kita? Bukankah itu menjadi sebuah kebanggaan bagi kita? Bukankah membanggakan jika kita dapat menjadi contoh yang baik? Bukankah kita semua menginginkannya?
Sungguh membanggakan apabila kita dapat berbahasa Indonesia dengan baik, apa lagi jika semua orang dapat berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Namun, yang menjadi masalah sekarang adalah bagaimana cara kita untuk mengajak teman-teman atau orang-orang di sekitar kita agar dapat juga berbahasa Indonesia yang baik dan benar seperti halnya kita? Masalah itu yang sering dihadapi oleh kita yang berpikir seperti itu. Selain itu, juga terdapat banyak masalah-masalah yang dihadapi para generasi untuk mewujudkan cita-cita mereka dalam rangka membangun bangsa ini.
1. Lemahnya Minat Baca, Menulis dan Bertanya
Banyaknya masyarakat yang kurang atau bahkan tidak gemar membaca, sehingga mereka kurang tahu dan kurang mempraktekkan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Padahal, dengan membaca artikel-artikel yang terdapat pada media masa secara tidak langsung telah memberika pelajaran tentang bahasa Indonesia.
Menulis, bagi sebagian orang yang tidak terbiasa dengan menulis mereka akan merasa bahwa menulis itu hanya membuang-buang waktu, membosankan, dan sebagainya yang pada intinya mereka cenderung meremehkan kegiatan menulis dan atau sebuah karya tulis. Padahal, dengan menulis, cepat atau lambat seseorang akan berusaha memperbaiki perbahasaan dalan karyanya sehingga mereka akan memperdalam ilmu tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Selain itu, apabila dua masalah diatas tidak dapat teratasi, maka bertanya dapat menjadi solusinya. Namun, banyak orang juga tidak mampu mengatasi masalah ini, pasalnya mereka malu untuk bertanya atau seseorang yang ditanyakan enggan memberi jawaban atas pertanyaan mereka dengan berbagai macam dalih.
2. Kurang Percaya Diri Sabar dalam Menghadapai Godaan
Kesabaran menjadi hal yang sulit dipertahankan ketika hanya kita orang yang mengerti dan menginginkan orang lain yang tidak mau mengerti untuk mengerti. Mereka yang kurang percaya diri dan kurang sabar akan putus asa dan menghentikan perjuangan mereka untuk mewujudkan cita-cita mereka. Mereka yang tidak mau mengerti selalu menyindir dan mencaci kami dengan kata-kata yang kurang baik, mereka selalu mengatakan “dari mana aja lo brow...”, “hare gene ‘saya’-‘kamu’...”, “sumpeh lo?” dan sebagainya, membuat kita patah semangat menjalani keyakinan kita.
Namun, apabila kita tetap bersikap baik, ramah dan pecaya diri, meskipun itu sulit, berat dan terasa mustahil, cepat atau lambat niscaya hati mereka akan luluh dengan sendirinya, tanpa adanya paksaan, pelanggara ataupun hukuman. Cara ini pernah kami coba, dan terbukti tidak mustahil cara ini dapat menanggulangi masalah dari mereka.
3. Terpengaruh Kemajuan Era Globalisasi
Tersedianya berbagai fasilitas yang cepat dan mudah dalam mencari informasi menjadikan hal ini menjadi cobaan terberat bagi para pejuang kita. Setiap hari kita selalu disuapi dengan pergaulan dan kebudayaan di luar negeri, sinetron-sinetron, gosip-gosip dan sebagainya yang menjadikan kita tidak memanfaatkan waktu dengan baik. Selain itu, penggunaan teknologi dengan kurang baik mengakibatkan kita menjadi tidak ingin mencari (lebih pasif) karena hanya dengan menonton kita bisa mendapat informasi. Dengan menonton, maka telah tersedia kebutuhan untuk penglihatan dan pendengaran sehingga otak kita tinggal menyerap dan tidak perlu lagi untuk mencari dan mengolah bukti-bukti yang kita dapat sendiri, menjadikan kita tidak bergerak, hanya duduk dan tiduran, dan semua hal yang mengakibatkan kemalasanpun telah tersedia dan tidak kita sadari telah merasuki diri kita.
Maka dari itu, kurangilah “menunggui” acara-acara, tempat-tempat akses yang menjadikan kita malas itu. Gunakanlah seperlunya, karena setiap hal yang dilakukan secara berlebihan akan berakibat buruk pada akhirnya.
Dengan tidak putus asa dan tetap menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar serta ramah kepada setiap orang, kita akan menjadi contoh untuk teman-teman atau orang-orang disekitar kita, seperti yang telah dituliskan kedalam hadist riwayat Abu Dawud dari Abu Huroiroh bahwa “tingkah laku seseorang akan mengikuti tingkah laku kekasihnya atau temannya, maka lihatlah siapa yang akan dijadikan kekasih atau teman”. Maka mulailah perubahan dari diri Anda sendiri.

KETAHUAN DEH...

Suatu hari, seorang anak bermain kerumah temannya. Namun, ketika ia ditinggal oleh temannya untuk buang air, mulailah niat jahat anak itu muncul.
Dia kemudian membuka laci lemari satu per satu namun tidak ada barang berharga disana. Tetapi, ketika dia melihat ke bawah kasur... “Hayo...” sang teman tiba-tiba melompat dan mengagetkan si anak tanpa mengerti apa yang si anak lakukan. Si anakpun langsung kaget dan meletakkan kembali kasur yang dipengangnya sambil berkata “Nggak kok nggak, saya nggak ngambil uang kamu yang cuma Rp. 1300,- di bawah kasur...”.

Gurindam

Tiada guna mencari sempurna
Karena sempurna tak pernah ada

Tiada guna mencaci diri
Karena dirimu Tuhan yang beri

Lihat Betty La Fea; jelek namun memesona
Hilangkan muram durja; karena kau istimewa

KARMINA

Pinggan tak retak, nasi tak dingin
Tuan tak hendak, kami lebih tak ingin
Sepatu basah dekat pintu
Teman susah kita bantu
Kayu berdiri di tengah taman
Jangan sendiri carilah teman
Tujuh tambah empat itu sebelas
Bukan sahabat kecuali berbalas
Jaka Sembung Jaka Tingkir
Kawan bingung teman berpikir
Langit berawan
Terlihat bercahaya
Bersama kawan
Gapailah cita-cita
Berburu singa di hutan rimba
Membawa senapan di punggung gajah
Menagih hutang dengan bunga
Itulah tanda orang serakah
Bermain kulintang
Lihat buaya
Pencuri barang
Dihajar massa
Kucing jatuh terserempet sepeda
Zebra berlari tidak lihat arah
Maksud hati mencuri air telaga
Berjalan, lari terpeleset juga
Kucing sakit, tidur melulu
Karena makan ikan pepes
Bermaksud makan terburu-buru
Tersedak sambal, air mata meletus
Korek sebatang ditarhu di kepala
Karena lapar, dimakan burung pelikan
Nyontek ketahuan malunya luar biasa
Kemana muka akan disembunyikan

PENGEMIS BUTA

Suatu hari Pak Haji pergi ke pasar, disana dia melihat seorang pengemis dan terjadilah dialog antara Pak Haji dengan Pengemis…
Pengemis: Pak Haji… kasihanilah saya pak…
Pak Haji: Kenapa kamu mengemis, sedangkan kamu tidak cacat sedikitpun?!
Pengemis: Saya buta pak…
Pak Haji: Kalau kamu buta, bagimana caranya kamu bisa melihat aku!?
Pengemis: Kata guru yang mengajar di sekolah, saya “BUTA HURUF”.
Pak Haji: !

SEGITIGA SAMA KAKI

Suatu hari ada seorang guru sedang memberi perintah kepada muridnya yang terkenal paling bandel di kelas.
Guru : Antok! Kamu maju ke depan! Coba kamu gambarkan segitiga sama kaki di papan!
Antok : Maaf bu, gak bisa!!!…
Guru : Kamu itu gimana, masak gambar segitiga sama kaki aja gak bisa!
Antok : Kalo gambar segitiganya sama kaki, saya gak bisa. Kalo sama tangan baru saya bisa.
Guru : ???????

MAAF

Suatu hari, seseorang dari negeri seberang yang teramat kaya datang ke Indonesia. Ketika ia tengah berjalan-jalan, ia melihat sebuah pesta pernikahan yang besar, kemudian Ia bertanya kepada salah satu penduduk di sana.
Orang kaya : “Uyvfjuyhc kyacctjf kuysaefcnaa;ohf kfasfd?”
(Wah, pestanya besar sekali, siapa yang menikah?)
Penduduk : “Maaf, saya tidak mengerti.”
Orang kaya : “Jhgad, sfg Maaf...”
(Ooh, si Maaf...) [Ia kira, orang yang menikah bernama “Maaf”]
Kemudian, satu hari setelah Ia melihat pesta besar itu ia melihat sebuah acara pemakaman yang dihadiri oleh begitu banyak orang, ia bertanya pada salah satu penduduk disana.
Orang kaya : “Fkiuybku uyktuky kuyh `hgvht ;htf?”
(Bayak sekali yang datang. Siapa yang meninggal?)
Penduduk : “Maaf, saya tidak mengerti.”
Orang kaya : “kuesa; w; Maaf... akya Maaf. Fo’ v ailu’apwpaiepj ;aslfha;c fij; sugfa...”
(Aduh Maaf... Maaf. Kasihan kamu, baru kemarin menikah hari ini sudah meninggal...)

GARA-GARA KARATE

Pada suatu hari, si Joko yang berasal dari suku jawa dan si Jaka yang berasal dari suku sunda bertemu dengan kawan lamanya yang bernama Jeki yang berasal dari suku padang.
Joko : “Sudah lama ndak ketemu, gimana kabarnya?”
Jeki : “Alhamdulillah baik-baik sajo...”
Jaka : “Kamu kerja apa?”
Jeki : “Sayo, jago kareto”(baca : jaga kereta)
Joko yang kurang mengerti bahasa padang menyangka Jeki berkata ‘jago karate’ sehingga Joko menguji kemampuan Jeki dengan langsung memukul wajah Jeki dan ternyata Jeki tidak menangkis pukulan Joko, karena memang Jeki tidak jago karate.
Jeki : “Aduh, SAKIE’... SAKIE’...”(baca : sakit)
Jaka menyangka bahwa Jeki meremehkan pukulan Joko karena Jeki berkata ‘sakie’ [segini/hanya segini (dalam terjemahan sunda)] sehingga Jaka kembali memukul Jeki.^_^

LUKISAN HUJAN

Hujan selalu turun pada September malam di tahun ini. Tapi hanya di salah satu siku kamar Fae. Kamar yang sengaja ia pijarkan lampu bercahaya temaram di tiap malam; lampu berbentuk pelangi dengan cahaya merah tua, kuning, dan hijau segar. Lampu itu terletak di samping jam digital kecil yang saat ini menunjukkan pukul 03.14 am. Sudah empat jam ia berdiam diri di kamar sejak pukul 10.00 pm tadi, namun lelap belum juga mencapai tidurnya. Ia hanya tertidur sebentar, terbangun beberapa menit kemudian dengan keringat hangat meresapi kaos putihnya, keringat hasil dari mimpi-mimpi buruknya.
Fae hampir tak ingin lagi tertidur karena tertekan dengan semua mimpi-mimpi itu; Aleet yang manja, Aleet yang riang, Aleet yang disakitinya, Aleet yang hilang, Aleet yang sekarang telah pergi. Aleet, adiknya yang masih berusia 16 tahun, terpaut 7 tahun selisih dengannya. Ia menyesal telah menyelewengkan kasih sayangnya itu kepada adiknya satu-satunya, jiwa paling berharga peninggalan kedua orangtuanya yang telah meninggal 10 tahun lalu karena dibunuh saingan kerja perusahaannya yang iri dengan kejayaan mereka.
Kehilangan tempat sandarannya membuat Fae yang saat itu masih remaja, kewalahan untuk mencari kekuatan yang mendorongnya untuk tetap menjalani kesehariannya. Teman-teman yang dikiranya sahabat, namun hanya memanfaatkan kekayaannya dari warisan sepeninggal orangtuanya. Sifatnya yang mudah mempercayai orang, membuatnya menjadi mudah pula dikhianati teman-teman di organisasi remaja tempat ia menyibukkan diri. Namun ia tak menjatuhkan harga dirinya begitu saja, setiap materi pelajaran hampir selalu dipahaminya dan semua guru juga menyukai kecerdasan serta kesopanannya.
Selain menjadi Aristoteles Jr, Newton Jr, Einstein Jr, ia mampu juga menjadi Hans Andersen Jr yang aktif dalam mading sekolahnya juga dalam koran harian kecil-kecilan di kotanya. Ia pun berhasil lulus ujian masuk universitas ternama dan sekarang ia bergelut di bisnis perhotelan warisan orangtuanya yang langsung melebar di berbagai penjuru dunia hasil dari kerja kerasnya.
Dan semua keberhasilannya itu didapatnya dari kekuatan tempatnya bersandar: Aleeta. Remaja yang pikirannya sudah melampaui pikiran orang dewasa, memberi semangat saat Fae terjatuh, memberi senyuman saat hati Fae menangis, memberi keajaiban saat Fae putus asa dan memberi setiap kenyamanan yang membuat Fae merasa bahwa dia tak sendiri di dunia yang tak pernah begitu manis ini.
“ Memperbaiki apa yang masih bisa diperbaiki,” ucapnya saat apa yang Fae berhasil wujudkan malah menjadi hancur berantakan.
“ Berjuang selalu untuk kebaikan yang lebih besar,” kutipnya dari salah satu novel favoritnya karya JK. Rowling. Ia mengatakan itu saat Fae belum berhasil memperbaiki apa yang sudah hancur.
Dan saat Fae menyerah karena belum berhasil juga memperbaiki itu semua, Aleet mengutip lagi dari salah satu novel yang pernah dibacanya, “ Yang perlu dilakukan manusia ketika ia ingin melakukan sesuatu adalah ia tinggal mempercayainya, berusaha mempercayainya dan mempercayai bahwa ia harus berusaha menggapai keinginannya itu.”
Kemudian dengan suaranya yang manja dan kekanak-kanakan, ia menyanyikan soundtrack film Barbie kesukaannya, “ Just waiting the miracles... Maybe dreams come true...” terkadang sambil menari-nari berkeliling ruangan kerja Fae, kakinya yang panjang menyisir lantai dengan gerakan penari balet amatiran yang kadang ia selingi dengan joget-joget dangdut aneh, membuat Fae tertawa dan selalu tertawa saat mengingat itu.
Semua perhatian dan kasih sayang Aleet membuatnya menjadi sangat takut kehilangan sandaran lagi. Aleet yang beranjak remaja, selalu dilarangnya pulang malam, berhubungan terlalu dalam dengan teman cowoknya, melakukan hal tak berguna seperti chatting dan mengobrol di telepon seharian dengan teman-temannya pada hari Minggu. Semua waktu Aleet hanya diinginkan Fae agar ada untuknya.
Tapi Aleet hanya diam. Diam. Dan diam. Hanya sekali ia membentak Fae karena sikapnya yang overprotektif itu, “ Kakak tuh kayak pemerintah Orba aja sih... diktator banget. Nanti aja kalo kena hukuman dari Yang Berkuasa, baru tau rasa loh...,” katanya saat itu dengan bibir merahnya merengut dan alisnya yang beradu, kesal. Fae terpaku mendengar itu. Ia menarik Aleet duduk dipangkuannya, dipeluknya dengan erat dan dikecupinya wajah adiknya. Ia memang sering mengecup adiknya saat adiknya itu ngambek dan kesal. Tapi saat itu pikirannya menggantung jauh dari kesadarannya akan statusnya sebagai seorang kakak yang seharusnya melindungi adiknya. Bibirnya berpindah dari hidung mungil sang adik ke bibir ranum di bawahnya.
“ Kakak!” Aleet berusaha menahan Fae yang memeluknya dan membawanya terebah di sofa ruang kerja. Tapi kemudian lengan Aleet perlahan melingkari bahu Fae, dan lidah mereka saling terpaut dalam mulut masing-masing...

Dua minggu setelah kejadian itu, Aleet pulang malam dengan seorang lelaki yang sebaya denganku. Mereka keluar dari Chevrolet hitam milik lelaki itu. Aku yang sudah menunggu di teras rumah sejak senja menyempurnakan wujudnya, segera berdiri dan menatapnya dengan perasaan berbeda-beda yang tak mau bersatu; bahagia karena Aleet akhirnya pulang, tapi marah karena ia baru pulang dua jam menjelang tengah malam. Mereka berbicara sebentar dan kemudian lelaki itu segera membawa pergi mobilnya yang bagiku terlihat seperti andong, tak berharga dibanding mobil-mobil yang terparkir di garasi rumah real estate kami.
Dengan keraguan yang sangat terlihat, Aleet berlari kecil memelukku dan tersenyum sambil berkata, “ Kakaaaak! Aku pulaaaang... hehe. Uhm, udah malam ya? Ya ampunnn...”
Ia menunggu reaksiku. Tapi aku tak menyahut, aku menatap sosoknya yang masih memakai pakaian kebanggaan anak-anak SMA; seragam putih abu-abu. Lengannya masih memelukku dengan janggal dan kedua matanya menatapku dengan takut-takut. Aroma tubuhnya yang kecut sampai ke hidungku, membuat sesuatu yang bergejolak di dadaku. Ku rapatkan tubuhku dan melumat lembut bibirnya. Aleet mengelak dan mendorongku kasar. Sorot matanya tetap ada pada ketakutan namun raut mukanya merah menahan marah.
Tapi aku juga marah, sangat marah malah. Aku lemparkan padanya koran sore yang sedang aku pegang, tepat mengenai wajahnya. Dengan suara yang berat dan kesal, aku memaki, “ Kamu jelek.. Bau. Kurang ajar. Sana masuk! Bulan depan kita pindah rumah ke Lyon, Perancis. Hotel disana mesti diawasi ketat. Aku nggak mauk sendirian kesana.”
Mata Aleet yang kecil, melebar dan mulai berkaca-kaca, “ Kakak aja yang kesana! Aku gamauk ikut! Aku gamauk lagi ketemu kakak yang mesum kayak kakak!!!”
Tak menyempatkan aku untuk menyahuti ucapannya, ia berlari masuk ke dalam rumah. Ada air mata yang dibentuk matanya, kulihat sesaat sebelum ia berlari melewatiku.

***
Hubungan kami semakin kacau. Aleet hampir tak pernah berbicara kepadaku kecuali saat memanggilku keluar dari ruang kerja untuk makan. Kami sarapan dalam diam. Ia pergi sekolah dalam diam dan aku pergi ke kantor dengan diam. Malam hari aku pulang dan ia masih diam. Makan malam kami dengan diam. Acara menonton tv yang biasanya menjadi acara kami untuk bercanda dan melepas penat seharian, kini menjadi acara yang begitu tak membuat kami nyaman karena hanya tv yang bersuara. Kami hanya diam.
Apabila sudah terlalu malam, aku hanya menegurnya pelan, menyuruhnya tidur. Aleet pun berpura-pura menguap dan kemudian mengucapkan selamat malam yang dingin. Dulu ia sengaja tak menutup pintu kamarnya agar aku masuk, merapikan selimutnya, terkadang menceritakan dongeng yang kubuat sendiri atau membacakan puisi-puisi yang kubuat di tengah kesibukanku atau menceritakan buku-buku yang baru saja aku baca dan kemudian aku memberinya ‘sun kening sebelum bubu’.
Sekarang pintunya malah tertutup dan bahkan ia menguncinya. Tapi hari Minggu kemarin aku melihatnya tertidur di sofa ruang tamu dengan tangannya menggenggam secarik kertas berisi puisiku yang paling disukainya; Lukisan Hujan Berpelangi di Hatiku. Puisi itu kami buat bersama-sama saat peringatan 9 tahun meninggalnya ayah dan ibu, sebagai ungkapan rindu kami pada mereka.

Pagi masih belum menukar waktu
dan gelap; merinduku.
Mungkin bila benar masih terjaga,
kau masih bisa melihatku; merindumu.

Dan lukisan hujan di pipiku;
lihatlah ada bentuk indah tetesan mataku..
garis-garis merah senja hatiku..
Lukisan ini ku bentuk di pipiku.

Aku ingin meminta maaf padanya, mengobrol bagaimana sebenarnya aku menyesali semua ini, memandangnya kembali dengan sorot kasih sayang seorang kakak... Namun tampaknya ia selalu menghindar saat aku hendak membicarakan hal itu.
Seperti biasa, kini ia sering pulang malam dan selalu diantar pulang oleh lelaki dengan Chevrolet hitam itu. Mengetahui kebiasaan barunya itu, aku selalu menunggu kedatangannya di teras rumah, tanpa berani melarang-larangnya lagi. Tapi, malam ini sudah lewat jam 00.00 dan ia masih belum jua pulang. Aku sudah meneleponnya berkali-kali sejak 30 menit yang lalu, tapi tak ada jawaban.
01.05, dan aku mulai menyesal tak menanyakan pada Aleet siapa lelaki itu sebenarnya.
01.21, dan aku mulai marah kenapa aku membiarkannya menjadi perempuan tak baik yang selalu pulang malam.
02.22, dan aku mulai kecewa kenapa ia tak begitu mempedulikanku lagi.
03.24, dan aku mulai sedih kenapa ia melakukanku seperti ini.
04.06, dan aku mulai sakit menyadari kesalahanku padanya.
04.14, dan aku mulai bingung harus seperti bagaimana untuk memperbaiki semua ini.
Tiba-tiba sebuah mobil masuk ke halaman rumahku yang luas, bukan.. bukan sebuah, tapi ada dua. Oh, ada lagi ternyata di belakangnya, jadi ada tiga. Dan semuanya mobil berwarna abu-abu dengan lampu khas polisi di atapnya. Aku segera berdiri gugup. Polisi berjumlah enam orang itu keluar dari mobil dinasnya masing-masing dan berjalan tegap menghampiriku. Seorang diantaranya maju lebih dekat dan bertanya dengan suara timbrenya yang khas, “ Apa benar disini kediaman Pak Faegelhoutam Phinweel Jr?”
“ Ya, benar. Ini rumah saya. A.. Ada apa, Pak?”
“ Adik Anda bernama Aleeta Phinweel Jr, siswi SMA 43. Benar begitu?”
“ Ya, Pak. Aleeta adik saya. Ada apa, Pak? Ada apa dengan adik saya?!”
Polisi itu menghela nafas pelan dan merendahkan suaranya, “ Mohon maaf, Pak. Kami menemukan adik Anda dalam keadaan tak bernyawa di taman pusat kota tengah malam tadi. Jasadnya sudah kami bawa ke rumah sakit untuk divisum. Diduga ia dibunuh oleh seorang lelaki yang mengendarai Chevrolet hitam yang kini diketahui milik salah satu anak keluarga Rinity, pemilik hotel Rinity Bersaudara.”
“ Rinity bersaudara?! Mereka yang dulu membunuh orangtua saya, Pak! Sekarang... adik saya juga?! Jangan sampai mereka lolos lagi seperti sepuluh tahun lalu, Pak!!! Silahkan mereka ambil semua hotel keluarga kami, tapi jangan ambil adik saya! Jangan!!!” aku menjerit mengeluarkan semua amarahku. Beberapa polisi menenangkan aku.
“ Ya, Pak. Pihak kepolisian saat ini sedang melakukan pemeriksaan dengan sebaik-baiknya. Dan...”

Dan semuanya menjadi gelap dirasakan Fae. Lebih gelap dibanding gelap kamarnya malam ini, karena kamar itu masih mampu diterangi cahaya lampu berbentuk pelangi pemberian Aleet. Tapi dengan gelapnya itu, dia mampu melihat jelas terang dan indahnya detik-detik yang pernah mereka genggam bersama.
“ Memperbaiki apa yang masih bisa diperbaiki,” Fae menggumam pelan, tersenyum dalam kekalutan, kesedihan, kesakitannya, juga kebahagiaannya dengan Aleeta. adiknya itu.

Pagi masih belum menukar waktu
dan gelap; merinduku.
Mungkin bila benar masih terjaga,
kau bisa melihatku; merindumu.

Dan lukisan hujan di pipiku;
lihatlah ada bentuk indah tetesan mataku..
garis-garis merah senja hatiku..
; lukisan ini ku bentuk di pipiku.

Aku masih selalu menanti pagi
yang tak mengerti benar
bagaimana merindu.

Karena malam terlalu gelap untuk kau tatap;
lukisan hujan berpelangi selalu
dihatiku.

HAJI ALI AKBAR NAVIS

Nama : Haji Ali Akbar Navis
Lahir : Kampung Jawa, Padangpanjang, Sumatera Barat, 17 November 1924
Wafat : Padang, Sumetera Barat, 22 Maret 2003
Pendidikan : INS Kayutanam (1932-1943)
Profesi :
Sastrawan, Kepala Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat, di Bukittinggi (1952-1955), Pemimpin Redaksi Harian Semangat di Padang (1971-1972), Dosen part time Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang, jurusan Sosiologi Minangkabau (1983-1985), Ketua Yayasan Badan Wakaf Ruang Pendidik INS, Kayutanam sejak tahun 1968, Ketua Umum Dewan Kesenian Sumatera Barat, Karya : Robohnya Surau Kami (1955), Bianglala (1963), Hujan Panas (1964), Kemarau (1967), Saraswati, Si Gadis dalam Sunyi (1970), Dermaga dengan Empat Sekoci (1975), Di Lintasan Mendung (1983), Alam Terkembang Jadi Guru (1984), Hujan Panas dan Kabut Musim (1990), Jodoh (1998).
Penghargaan :
Hadiah seni dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (1988), Lencana Kebudayaan dari Universitas Andalas Padang (1989), Lencana Jasawan di bidang seni dan budaya dari Gubernur Sumbar (1990), Hadiah sastra dari Mendikbud (1992), Hadiah Sastra ASEAN/SEA Write Award (1994), Anugerah Buku Utama dari Unesco/IKAPI (1999), Satya Lencana Kebudayaan dari Pemerintah RI.
Biografi :
Dia adalah salah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia. Haji Ali Akbar Navis, atau yang lebih dikenal dengan nama A.A Navis, di kalangan sastrawan dia digelari sebagai kepala pencemooh. Gelar yang lebih menggambarkan kekuatan satiris tidak mau dikalahkan sistem dari luar dirinya.
Sosoknya menjadi simbol energi sastrawan yang menjadikan menulis sebagai alat dalam kehidupannya. Kritik-kritik sosialnya mengalir apa adanya untuk membangunkan kesadaran setiap pribadi agar hidup lebih bermakna. Dia seorang seniman yang perspektif pemikirannya jauh ke depan. Karyanya Robohnya Surau Kami, juga mencerminkan perspektif pemikiran ini. Yang roboh itu bukan dalam pengertian fisik, tapi tata nilai. Hal yang terjadi saat ini di negeri ini. Dia memang sosok budayawan besar, kreatif, produktif, konsisten dan jujur pada dirinya sendiri. Sepanjang hidupnya, dia telah melahirkan sejumlah karya monumental dalam lingkup kebudayaan dan kesenian. Dia bahkan telah menjadi guru bagi banyak sastrawan.
Dia seorang sastrawan intelektual yang telah banyak menyampaikan pemikiran-pemikiran di pentas nasional dan internasional. Dia banyak menulis berbagai hal. Walaupun karya sastralah yang paling banyak digelutinya. Karyanya sudah ratusan, mulai dari cerpen, novel, puisi, cerita anak-anak, sandiwara radio, esai mengenai masalah sosial budaya, hingga penulisan otobiografi dan biografi.
Navis memulai menulis sejak tahun 1950. Hasil karyanya mendapat perhatian dari pimpinan media cetak sekitar tahun 1955 dan telah menghasilkan sebanyak 65 karya sastra dalam berbagai bentuk. Menulis 22 buku, ditambah lima antologi bersama sastrawan lainnya dan delapan antologi luar negeri serta 106 makalah yang ditulisnya untuk berbagai kegiatan akademis di dalam maupun di luar negeri, dihimpun dalam buku ‘Yang Berjalan Sepanjang Jalan.
Novelnya, Saraswati, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2002. Ia seorang penulis yang tak pernah merasa tua. Pada usia gaek ia masih saja menulis. Buku terakhirnya, berjudul Jodoh, diterbitkan oleh Grasindo, Jakarta atas kerjasama Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation, sebagai kado ulang tahun pada saat usianya genap 75 tahun. Padahal menulis bukanlah pekerjaan mudah, tapi memerlukan energi pemikiran serius dan santai. Tidak semua gagasan dan ide dapat diimplementasikan dalam sebuah tulisan, dan bahkan terkadang memerlukan waktu 20 tahun untuk melahirkan sebuah tulisan. Kendati demikian, ada juga tulisan yang dapat diselesaikan dalam waktu sehari saja. Namun, semua itu harus dilaksanakan dengan tekun tanpa harus putus asa.
Dia juga melihat Perkembangan sastra di Indonesia lagi macet. “Dulu si pengarang itu, ketika duduk di SMP dan SMA sudah menjadi pengarang. Sekarang memang banyak pengarang lahir. Dulu juga banyak, cuma penduduk waktu itu 80 juta dan sekarang 200 juta. Saya kira tak ada karya pengarang sekarang yang monumental, yang aneh memang banyak,” katanya. Perihal orang Minang, dirinya sendiri, dia mengatakan keterlaluan kalau ada yang mengatakan orang Minang itu pelit. “Yang benar, penuh perhitungan,” katanya, dia mengatakan sangat tak tepat mengatakan orang Minang itu licik. “Yang benar galia atau galir, ibarat pepatah tahimpik nak di ateh, takuruang nak di lua (terhimpit maunya di atas, terkurung maunya di luar)”, selorohnya.
Kini, dia telah pergi. Dunia sastra Indonesia kehilangan salah seorang sastrawan besar. Penulis Robohnya Surau Kami dan menguasai berbagai kesenian seperti seni rupa dan musik, ini meninggal dunia dalam usia hampir 79 tahun, sekitar pukul 05.00, Sabtu 22 Maret 2003, di Rumah Sakit Yos Sudarso, Padang.

TAUFIQ ISMAIL


Nama : Taufiq Ismail
Lahir : Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1935
Pendidikan :
SMP di Bukittinggi, SMA di Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas Indonesia (sekarang IPB), tahun 1963 mengikuti International Writing Program, University of Iowa, Iowa City, Amerika Serikat 1971--1972 dan 1991—1992, Faculty of Languange and Literature, American University in Cairo, Mesir, 1993.
Profesi : Penyair dan Penterjemah
Karier :
Pengajar di Fakultas Peternakan IPB (1962-1965),Pengajar di Fakultas Psikologi UI (1967),Sekretaris DPH-DKJ (1970-1971),Wakil General Manager PKJ-TIM (1973),Ketua LPKJ (1973-1977),Redaktur Puisi Majalah Horison (1966),Kolumnis (1966-1971),Manager Hubungan Luar PT Unilever Indonesia.
Karya :
Tirani, Birpen KAMI Pusat (1966), Benteng, Litera ( 1966), Buku Tamu Musium Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta (buklet baca puisi) (1972), Sajak Ladang Jagung (1974), Kenalkan, Saya Hewan, sajak anak-anak (1976), Puisi-puisi Langit (1990),
Tirani dan Benteng (1993),Prahara Budaya (1995),Ketika Kata Ketika (1995),
Seulawah Antologi Sastra Aceh (1995) Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1998),
Dari Fansuri ke (2001),Horison Sastra Indonesia, empat jilid meliputi Kitab Puisi (1), Kitab Cerita Pendek (2), Kitab Nukilan Novel (3), Kitab Drama (4) (2002),Mengakar Ke Bumi Menggapai Ke Langit (2008)
Prestasi :
Memenangkan beasiswa American Field Service Interntional School guna mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Wisconsin, AS, angkatan pertama dari Indonesia (1956-1957),
Penghargaan :
Anugerah Seni dari Pemerintah RI (1970), Cultural Visit Award dari Pemerintah Australia (1977),South East Asia (SEA) Write Award dari Kerajaan Thailand (1994), Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994),Sastrawan Nusantara dari Negeri Johor,Malaysia (1999),Doctor honoris causa dari Universitas Negeri Yogyakarta (2003),
Boigrafi :
Kadang-kadang orang lupa, bahwa penyair yang menyenandungkan amarah angkatan muda pada penghujung 1965/1966 adalah seorang dokter hewan. Maka di awal 1980, ia membacakan puisi di teater tertutup TIM, Jakarta, ditemani oleh Trio Bimbo ia pun muncul dengan sajak-sajak yang bercerita tentang manusia dan hewan. Sementara banyak tingkah laku manusia ditiru hewan, menurut Taufiq tak sedikit pula perangai hewan yang diambil alih manusia. Suatu kumpulan puisi yang ditulisnya untuk anak-anak, berjudul Saya Ini Hewan, akhirnya ditetapkan sebagai bacaan Inpres. Lahir di bukittinggi, besar di Pekalongan, penyair yang banyak menulis lirik untuk lagu-lagu Bimbo ini.
Lulus dari fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan Universitas Indonesia, Bogor (sekarang IPB) tahun 1963, Taufiq kemudian mengajar di sana dan di fakultas Psikologi UI, sejak tahun 1967. Namanya terkenal kemasyarakat luas setelah ia menerbitkan puisinya yang merekam dan menyuarakan suara protes kesedihan dan harapan para mahasiswa yang berdemontrasi melawan pemerintahan Soekarno di tahun 1966. Kumpulan sajaknya, Tirani, disusul dengan Benteng. Larisnya bukan main waktu itu, walaupun dicetak dalam bentuk sederhana. Semasa menerbitkannya pertama kali, Taufiq mempergunakan nama samaran. Maklum, sebagai penanda tangan Manifes Kebudayaan yang dilarang Bung Karno ia tak boleh menulis.
Pada Tahun-tahun yang sibuk itu juga lahir kumpulan sajaknya Tirani. Taufiq penyair yang produktif. Selagi memangku jabatan Ketua LPKJ (periode 1973-1977) ia tak pernah absent menulis dan membacakan sajak. Puisinya penuh dengan imaji-imaji yang teliti, menunjukan Taufiq seorang pengamat sekitar yang peka. Dalam perkembangan puisinya kemudian, ia memasukan humor dan kecerahan.
“Saya merasa lebih dekat dengan Allah bila bersajak”, ujarnya. Keakraban dengan Allah ini juga kiranya yang menapasi lirik yang ditulisnya untuk lagu-lagu Bimbo, yang kemudian direkam dalam satu kaset produksi Remaco Qasidah 78. Di kaset itu ia berkisah tentang para nabi satu persatu.
Menikah pada tahun 1971 dengan Esijati Jatim yang ketika itu mahasiswi IAIN Jakarta jurusan Pendidikan Pada pernikahannya, Buya Hamka yang membacakan doa sedangkan Moh. Natsir berkhotbah.
Taufiq selain menulis puisi agama juga menulis untuk banyak hal dan publik. Puisinya berjudul Rasa Santun yang Tertidur disiarkan berbagai Koran Jakarta dalam rangka Hari Kemanusiaan sedunia 1978. Sajak itu menggambarkan masyarakat yang terlupa memikirkan nasib mereka yang mendekam di tahanan. Masyarakat yang rasa santunnya tertidur. “Saya menulis puisi itu karena rasa malu kata Taufiq. Malu pada diri sendiri. Karena saya merasa selama ini tidak pernah berbuat apRata Penuha-apa untuk mereka yang ditahan”, ujarnya.

Senin, 17 November 2008

CHAIRIL ANWAR


Nama : Chairil Anwar
Lahir : Medan, Sumatera Barat,26 Juli 1922
Wafat : 28 April 1949.
Pendidikan : HIS,MULO (tidak tamat)
Karier : Redaktur Gelanggang(1948-1949),Redaktur Gema Suasana (1949)
Kumpulan Sajak :
Kerikil Tajam dan Yang Terhempas dan Yang Putus (1949), Deru Campur Debu (1949), Tiga Menguak Takdir (1950), Aku Ini Binatang jalang (1986), Dearai-Daerai Cemara (1999)
Biografi :
Nama penyair Chairil Anwar adalah identik dengan kesusastraan Indonesia. Setiap orang Indonesia yang telah mengecap pendidikan formal pasti mengenal namanya. Ini menunjukkan bahwa Chairil Anwar sangat dikenal sebagai sastrawan, khususnya penyair. Walaupun Chairil Anwar meninggal dalam usia yang relatif muda 27 tahun, tetapi melalui karya-karyanya ia membuktikan kata-kata dalam sajaknya, Sekali berarti setelah itu mati dan Aku mau hidup seribu tahun tahun lagi.
Chairil hadir pada situasi peralihan yang penuh gejolak. Sebuah transisi dari situasi terjajah menuju kemerdekaan. Penolakan terhadap kolonialisme dan pemikiran dunia yang muncul pada masa Perang Dunia II ikut membentuknya. Surat Kepercayaan Gelanggang merupakan wujud penolakan Chairil dan teman-temannya terhadap pengertian kebudayaan nasional sebagai kegiatan melap-lap kemudian lama yang lapuk. Kebudayaan menurut mereka adalah cara suatu bangsa mengatasi masalah yang lahir dari situasi zaman dan tepat.
Chairil Anwar menjadi sangat terkenal karena dua hal. Pertama, ia menulis sajak-sajak bermutu tinggi dengan jenis sastra yang menyandang suatu ideologi atau pemikiran besar tertentu seperti perang, revolusi dan sebagainya. Ahli sastra menyebut sastra jenis ini dengan istilah Sastra Mimbar, yaitu jenis sastra yang secara tematis sangat erat hubungannya dengan keadaan dan persoalan zaman. Hal itu dapat berupa tanggapan dari persoalan-persoalan besar di zaman itu. Beberapa karya Chairil Anwar yang termasuk sastra mimbar adalah Aku, Perjanjian Dengan Bung Karno, Catatan Tahun 1946 dan Kerawang Bekasi.
Kedua, ia juga menulis sajak-sajak yang menjadi bahan perenungan yang temanya lebih kepada persoalan-persoalan keseharian. Ahli sastra menyebutnya Sastra Kamar. Karya Chairil yang digolongkan kedalam jenis ini adalah Senja di pelabuhan, Derai-Derai Cemara, Penghidupan. Pengolahan bahasa sajak-sajak Chairil sangat khas dan spesifik.
Chairil telah membuka kemungkinan yang sangat tak terduga. Ia membawa suasana, gaya, ritme, tempo, nafas, kepekatan dan kelincahan yang mengagumkan kepada sastra Indonesia. Sampai saat ini masih terasa pengaruh bahasa sajak Chairil ikut membawa warna perkembangan bahasa dan sastra Indonesia. Chairil mampu melepaskan bahasa dari lingkungan kaidah baku bahasa, yang mungkin secara tata bahasa menyalahi aturan, tetapi sebagai sarana ekspresi sangat fungsional dan indah. Begitu kuatnya pengaruh Chairil di dalam mengolah pengucapan bahasa sajak, menyebabkan penyair-penyair sesudahnya meneladani cara pengolahan bahasa sajaknya.
Chairil tidak setengah-setangah dalam menggeluti dan menjalani prisnsip hidupnya. Ia dapat mengungkap sesuatu persoalan dengan luas karena pengalaman dan perjalanan hidupnya yang luas pula. Ia juga seorang yang sangat gemar membaca. Apalagi kegemaran\nya ditunjang oleh kemampuannya berbahasa asing seperti Jerman, Belanda dan Inggris dengan baik. Melalui penguasaan bahasa itulah ia memperoleh informasi dari pihak pertama.
Dunia kesusastraan sebagai pilihan hidupnya dijalaninya dengan sangat bersungguh-sungguh. Ia pun bekerja habis-habisan untuk mengolah pilihan hidupnya itu dan ia berhasil, meskipun ia tidak sempat menyaksikan bahwa ia benar-benar berhasil menggeluti pilihan hidupnya itu karena ajal lebih dahulu menjemputnya.
Banyak orang mengira bahwa Chairil adalah petualang kumuh. Tetapi salah seorang sahabatnya, Asrul sani membantahnya. Chairil selalu berpakaian rapi, meskipun ia seorang bohemian. Kerah kemejanya selalu kaku karena dikanji, bajunya seantiasa disetrika licin. Ia bahkan boleh dikatakan dandy. Chairil memang telah menjadi legenda sastra Indonesia. Ia memang besar karena kesungguhannya bekerja dan memperjuangkan pilihan hidupnya. Semangat inilah yang dapat menjadi teladan bagi generai muda.
Untuk mengenang Chairil Anwar, DKJ memberikan anugerah sastra kepada para sastrawan dan penyair dengan nama Anugerah Sastra Chairil Anwar. Hadiah itu telah diberikan kepada Mochtar Lubis tahun 1992, Sutardji Calzoum Bachri tahun 1998. Chairil Anwar dianggap sebagai pendobrak zaman dan pelopor angkatan ’45

RUMAH CINTA UJUNG LANGIT

Dik, ada rumah cinta ujung langit
pada kaki pelangi berpetak merah muda.
Kesana aku mengembara.
Disana rindu, aku dibara.

Dan senyap
lelap
kau jua mendamba.
Eh, Dik!
Kita sama mengudara!

Tapi lembayung
pernah pula warna kita kelabui.

Dik, pada rumah cinta ujung langit
ada pelangi berkaki petaknya warna senja.
Kanannya milik engkau.
Aku milik kirinya, Dik.

LUKISAN HUJAN

Pagi masih belum menukar waktu
dan gelap; merinduku.
Mungkin bila benar masih terjaga,
kau bisa melihatku; merindumu.

Dan lukisan hujan di pipiku;
bentuk indah tetesan mataku..
garis-garis merah senja hatiku..
; lukisan ini ku bentuk di pipiku.

Aku masih selalu menanti pagi
yang tak mengerti benar bagaimana merindu.

Dan malam masih
selalu gelap, kau tatap;
lukisan hujan berpelangi selalu
dihatiku.

ARTI

A k u ;
engkau yang mencintai
engkau pula yang membenci
salah satunya sesuatu, yang terhidupi hidupmu.

A k u ;
perasaan yang terbanggakan
keinginan pula yang menjemukan
dari dirimu yang ada di hatimu

C I N T A ;
mengerti jua, engkau mencinta?
; suatu deritakah?
; kasih sayangkah?
; dan, tak bermatakah?

A k u ;
mungkin engkau yang membenciku.

TERNYATA KAU SUKA HITAM

Ternyata kau suka hitam.
Demikian, cinta kita rehatkan.
Pengintrupsian senyum yang kubuat bangga
dan, tapi
kau beri hitam pada jingga.

Hujanku, ingatku, basahku
bersamamu, dimatamu
dan
kita, cinta kita, hitam kita;
tak pernah begitu hitam begini.

Ternyata kau suka hitam.
Demikian cinta kita rehatkan.
Perlukah pelangi, petaknya diwarnai?
; kita yang tak pernah begitu hitam begini?

UNTUK HUJAN DI BULAN OKTOBER

Untuk hujan di bulan Oktober
ceritaku: kenangan;
kesan dan impian.

Hati yang ke-aku-an
hari yang ku-luka-kan
kita yang kita-kata-kan
; belum pernah anak kecil di mataku

berlari tanpaku
meneduh tidak seluruh aku
merindu yang bukan aku
hangat salah untukku.

Untuk hujan di bulan Oktober
ceritakanku kenangan,
kiasan impian
; aku mau harapan.