Hujan selalu turun pada September malam di tahun ini. Tapi hanya di salah satu siku kamar Fae. Kamar yang sengaja ia pijarkan lampu bercahaya temaram di tiap malam; lampu berbentuk pelangi dengan cahaya merah tua, kuning, dan hijau segar. Lampu itu terletak di samping jam digital kecil yang saat ini menunjukkan pukul 03.14 am. Sudah empat jam ia berdiam diri di kamar sejak pukul 10.00 pm tadi, namun lelap belum juga mencapai tidurnya. Ia hanya tertidur sebentar, terbangun beberapa menit kemudian dengan keringat hangat meresapi kaos putihnya, keringat hasil dari mimpi-mimpi buruknya.
Fae hampir tak ingin lagi tertidur karena tertekan dengan semua mimpi-mimpi itu; Aleet yang manja, Aleet yang riang, Aleet yang disakitinya, Aleet yang hilang, Aleet yang sekarang telah pergi. Aleet, adiknya yang masih berusia 16 tahun, terpaut 7 tahun selisih dengannya. Ia menyesal telah menyelewengkan kasih sayangnya itu kepada adiknya satu-satunya, jiwa paling berharga peninggalan kedua orangtuanya yang telah meninggal 10 tahun lalu karena dibunuh saingan kerja perusahaannya yang iri dengan kejayaan mereka.
Kehilangan tempat sandarannya membuat Fae yang saat itu masih remaja, kewalahan untuk mencari kekuatan yang mendorongnya untuk tetap menjalani kesehariannya. Teman-teman yang dikiranya sahabat, namun hanya memanfaatkan kekayaannya dari warisan sepeninggal orangtuanya. Sifatnya yang mudah mempercayai orang, membuatnya menjadi mudah pula dikhianati teman-teman di organisasi remaja tempat ia menyibukkan diri. Namun ia tak menjatuhkan harga dirinya begitu saja, setiap materi pelajaran hampir selalu dipahaminya dan semua guru juga menyukai kecerdasan serta kesopanannya.
Selain menjadi Aristoteles Jr, Newton Jr, Einstein Jr, ia mampu juga menjadi Hans Andersen Jr yang aktif dalam mading sekolahnya juga dalam koran harian kecil-kecilan di kotanya. Ia pun berhasil lulus ujian masuk universitas ternama dan sekarang ia bergelut di bisnis perhotelan warisan orangtuanya yang langsung melebar di berbagai penjuru dunia hasil dari kerja kerasnya.
Dan semua keberhasilannya itu didapatnya dari kekuatan tempatnya bersandar: Aleeta. Remaja yang pikirannya sudah melampaui pikiran orang dewasa, memberi semangat saat Fae terjatuh, memberi senyuman saat hati Fae menangis, memberi keajaiban saat Fae putus asa dan memberi setiap kenyamanan yang membuat Fae merasa bahwa dia tak sendiri di dunia yang tak pernah begitu manis ini.
“ Memperbaiki apa yang masih bisa diperbaiki,” ucapnya saat apa yang Fae berhasil wujudkan malah menjadi hancur berantakan.
“ Berjuang selalu untuk kebaikan yang lebih besar,” kutipnya dari salah satu novel favoritnya karya JK. Rowling. Ia mengatakan itu saat Fae belum berhasil memperbaiki apa yang sudah hancur.
Dan saat Fae menyerah karena belum berhasil juga memperbaiki itu semua, Aleet mengutip lagi dari salah satu novel yang pernah dibacanya, “ Yang perlu dilakukan manusia ketika ia ingin melakukan sesuatu adalah ia tinggal mempercayainya, berusaha mempercayainya dan mempercayai bahwa ia harus berusaha menggapai keinginannya itu.”
Kemudian dengan suaranya yang manja dan kekanak-kanakan, ia menyanyikan soundtrack film Barbie kesukaannya, “ Just waiting the miracles... Maybe dreams come true...” terkadang sambil menari-nari berkeliling ruangan kerja Fae, kakinya yang panjang menyisir lantai dengan gerakan penari balet amatiran yang kadang ia selingi dengan joget-joget dangdut aneh, membuat Fae tertawa dan selalu tertawa saat mengingat itu.
Semua perhatian dan kasih sayang Aleet membuatnya menjadi sangat takut kehilangan sandaran lagi. Aleet yang beranjak remaja, selalu dilarangnya pulang malam, berhubungan terlalu dalam dengan teman cowoknya, melakukan hal tak berguna seperti chatting dan mengobrol di telepon seharian dengan teman-temannya pada hari Minggu. Semua waktu Aleet hanya diinginkan Fae agar ada untuknya.
Tapi Aleet hanya diam. Diam. Dan diam. Hanya sekali ia membentak Fae karena sikapnya yang overprotektif itu, “ Kakak tuh kayak pemerintah Orba aja sih... diktator banget. Nanti aja kalo kena hukuman dari Yang Berkuasa, baru tau rasa loh...,” katanya saat itu dengan bibir merahnya merengut dan alisnya yang beradu, kesal. Fae terpaku mendengar itu. Ia menarik Aleet duduk dipangkuannya, dipeluknya dengan erat dan dikecupinya wajah adiknya. Ia memang sering mengecup adiknya saat adiknya itu ngambek dan kesal. Tapi saat itu pikirannya menggantung jauh dari kesadarannya akan statusnya sebagai seorang kakak yang seharusnya melindungi adiknya. Bibirnya berpindah dari hidung mungil sang adik ke bibir ranum di bawahnya.
“ Kakak!” Aleet berusaha menahan Fae yang memeluknya dan membawanya terebah di sofa ruang kerja. Tapi kemudian lengan Aleet perlahan melingkari bahu Fae, dan lidah mereka saling terpaut dalam mulut masing-masing...
Dua minggu setelah kejadian itu, Aleet pulang malam dengan seorang lelaki yang sebaya denganku. Mereka keluar dari Chevrolet hitam milik lelaki itu. Aku yang sudah menunggu di teras rumah sejak senja menyempurnakan wujudnya, segera berdiri dan menatapnya dengan perasaan berbeda-beda yang tak mau bersatu; bahagia karena Aleet akhirnya pulang, tapi marah karena ia baru pulang dua jam menjelang tengah malam. Mereka berbicara sebentar dan kemudian lelaki itu segera membawa pergi mobilnya yang bagiku terlihat seperti andong, tak berharga dibanding mobil-mobil yang terparkir di garasi rumah real estate kami.
Dengan keraguan yang sangat terlihat, Aleet berlari kecil memelukku dan tersenyum sambil berkata, “ Kakaaaak! Aku pulaaaang... hehe. Uhm, udah malam ya? Ya ampunnn...”
Ia menunggu reaksiku. Tapi aku tak menyahut, aku menatap sosoknya yang masih memakai pakaian kebanggaan anak-anak SMA; seragam putih abu-abu. Lengannya masih memelukku dengan janggal dan kedua matanya menatapku dengan takut-takut. Aroma tubuhnya yang kecut sampai ke hidungku, membuat sesuatu yang bergejolak di dadaku. Ku rapatkan tubuhku dan melumat lembut bibirnya. Aleet mengelak dan mendorongku kasar. Sorot matanya tetap ada pada ketakutan namun raut mukanya merah menahan marah.
Tapi aku juga marah, sangat marah malah. Aku lemparkan padanya koran sore yang sedang aku pegang, tepat mengenai wajahnya. Dengan suara yang berat dan kesal, aku memaki, “ Kamu jelek.. Bau. Kurang ajar. Sana masuk! Bulan depan kita pindah rumah ke Lyon, Perancis. Hotel disana mesti diawasi ketat. Aku nggak mauk sendirian kesana.”
Mata Aleet yang kecil, melebar dan mulai berkaca-kaca, “ Kakak aja yang kesana! Aku gamauk ikut! Aku gamauk lagi ketemu kakak yang mesum kayak kakak!!!”
Tak menyempatkan aku untuk menyahuti ucapannya, ia berlari masuk ke dalam rumah. Ada air mata yang dibentuk matanya, kulihat sesaat sebelum ia berlari melewatiku.
***
Hubungan kami semakin kacau. Aleet hampir tak pernah berbicara kepadaku kecuali saat memanggilku keluar dari ruang kerja untuk makan. Kami sarapan dalam diam. Ia pergi sekolah dalam diam dan aku pergi ke kantor dengan diam. Malam hari aku pulang dan ia masih diam. Makan malam kami dengan diam. Acara menonton tv yang biasanya menjadi acara kami untuk bercanda dan melepas penat seharian, kini menjadi acara yang begitu tak membuat kami nyaman karena hanya tv yang bersuara. Kami hanya diam.
Apabila sudah terlalu malam, aku hanya menegurnya pelan, menyuruhnya tidur. Aleet pun berpura-pura menguap dan kemudian mengucapkan selamat malam yang dingin. Dulu ia sengaja tak menutup pintu kamarnya agar aku masuk, merapikan selimutnya, terkadang menceritakan dongeng yang kubuat sendiri atau membacakan puisi-puisi yang kubuat di tengah kesibukanku atau menceritakan buku-buku yang baru saja aku baca dan kemudian aku memberinya ‘sun kening sebelum bubu’.
Sekarang pintunya malah tertutup dan bahkan ia menguncinya. Tapi hari Minggu kemarin aku melihatnya tertidur di sofa ruang tamu dengan tangannya menggenggam secarik kertas berisi puisiku yang paling disukainya; Lukisan Hujan Berpelangi di Hatiku. Puisi itu kami buat bersama-sama saat peringatan 9 tahun meninggalnya ayah dan ibu, sebagai ungkapan rindu kami pada mereka.
Pagi masih belum menukar waktu
dan gelap; merinduku.
Mungkin bila benar masih terjaga,
kau masih bisa melihatku; merindumu.
Dan lukisan hujan di pipiku;
lihatlah ada bentuk indah tetesan mataku..
garis-garis merah senja hatiku..
Lukisan ini ku bentuk di pipiku.
Aku ingin meminta maaf padanya, mengobrol bagaimana sebenarnya aku menyesali semua ini, memandangnya kembali dengan sorot kasih sayang seorang kakak... Namun tampaknya ia selalu menghindar saat aku hendak membicarakan hal itu.
Seperti biasa, kini ia sering pulang malam dan selalu diantar pulang oleh lelaki dengan Chevrolet hitam itu. Mengetahui kebiasaan barunya itu, aku selalu menunggu kedatangannya di teras rumah, tanpa berani melarang-larangnya lagi. Tapi, malam ini sudah lewat jam 00.00 dan ia masih belum jua pulang. Aku sudah meneleponnya berkali-kali sejak 30 menit yang lalu, tapi tak ada jawaban.
01.05, dan aku mulai menyesal tak menanyakan pada Aleet siapa lelaki itu sebenarnya.
01.21, dan aku mulai marah kenapa aku membiarkannya menjadi perempuan tak baik yang selalu pulang malam.
02.22, dan aku mulai kecewa kenapa ia tak begitu mempedulikanku lagi.
03.24, dan aku mulai sedih kenapa ia melakukanku seperti ini.
04.06, dan aku mulai sakit menyadari kesalahanku padanya.
04.14, dan aku mulai bingung harus seperti bagaimana untuk memperbaiki semua ini.
Tiba-tiba sebuah mobil masuk ke halaman rumahku yang luas, bukan.. bukan sebuah, tapi ada dua. Oh, ada lagi ternyata di belakangnya, jadi ada tiga. Dan semuanya mobil berwarna abu-abu dengan lampu khas polisi di atapnya. Aku segera berdiri gugup. Polisi berjumlah enam orang itu keluar dari mobil dinasnya masing-masing dan berjalan tegap menghampiriku. Seorang diantaranya maju lebih dekat dan bertanya dengan suara timbrenya yang khas, “ Apa benar disini kediaman Pak Faegelhoutam Phinweel Jr?”
“ Ya, benar. Ini rumah saya. A.. Ada apa, Pak?”
“ Adik Anda bernama Aleeta Phinweel Jr, siswi SMA 43. Benar begitu?”
“ Ya, Pak. Aleeta adik saya. Ada apa, Pak? Ada apa dengan adik saya?!”
Polisi itu menghela nafas pelan dan merendahkan suaranya, “ Mohon maaf, Pak. Kami menemukan adik Anda dalam keadaan tak bernyawa di taman pusat kota tengah malam tadi. Jasadnya sudah kami bawa ke rumah sakit untuk divisum. Diduga ia dibunuh oleh seorang lelaki yang mengendarai Chevrolet hitam yang kini diketahui milik salah satu anak keluarga Rinity, pemilik hotel Rinity Bersaudara.”
“ Rinity bersaudara?! Mereka yang dulu membunuh orangtua saya, Pak! Sekarang... adik saya juga?! Jangan sampai mereka lolos lagi seperti sepuluh tahun lalu, Pak!!! Silahkan mereka ambil semua hotel keluarga kami, tapi jangan ambil adik saya! Jangan!!!” aku menjerit mengeluarkan semua amarahku. Beberapa polisi menenangkan aku.
“ Ya, Pak. Pihak kepolisian saat ini sedang melakukan pemeriksaan dengan sebaik-baiknya. Dan...”
Dan semuanya menjadi gelap dirasakan Fae. Lebih gelap dibanding gelap kamarnya malam ini, karena kamar itu masih mampu diterangi cahaya lampu berbentuk pelangi pemberian Aleet. Tapi dengan gelapnya itu, dia mampu melihat jelas terang dan indahnya detik-detik yang pernah mereka genggam bersama.
“ Memperbaiki apa yang masih bisa diperbaiki,” Fae menggumam pelan, tersenyum dalam kekalutan, kesedihan, kesakitannya, juga kebahagiaannya dengan Aleeta. adiknya itu.
Pagi masih belum menukar waktu
dan gelap; merinduku.
Mungkin bila benar masih terjaga,
kau bisa melihatku; merindumu.
Dan lukisan hujan di pipiku;
lihatlah ada bentuk indah tetesan mataku..
garis-garis merah senja hatiku..
; lukisan ini ku bentuk di pipiku.
Aku masih selalu menanti pagi
yang tak mengerti benar
bagaimana merindu.
Karena malam terlalu gelap untuk kau tatap;
lukisan hujan berpelangi selalu
dihatiku.
Fae hampir tak ingin lagi tertidur karena tertekan dengan semua mimpi-mimpi itu; Aleet yang manja, Aleet yang riang, Aleet yang disakitinya, Aleet yang hilang, Aleet yang sekarang telah pergi. Aleet, adiknya yang masih berusia 16 tahun, terpaut 7 tahun selisih dengannya. Ia menyesal telah menyelewengkan kasih sayangnya itu kepada adiknya satu-satunya, jiwa paling berharga peninggalan kedua orangtuanya yang telah meninggal 10 tahun lalu karena dibunuh saingan kerja perusahaannya yang iri dengan kejayaan mereka.
Kehilangan tempat sandarannya membuat Fae yang saat itu masih remaja, kewalahan untuk mencari kekuatan yang mendorongnya untuk tetap menjalani kesehariannya. Teman-teman yang dikiranya sahabat, namun hanya memanfaatkan kekayaannya dari warisan sepeninggal orangtuanya. Sifatnya yang mudah mempercayai orang, membuatnya menjadi mudah pula dikhianati teman-teman di organisasi remaja tempat ia menyibukkan diri. Namun ia tak menjatuhkan harga dirinya begitu saja, setiap materi pelajaran hampir selalu dipahaminya dan semua guru juga menyukai kecerdasan serta kesopanannya.
Selain menjadi Aristoteles Jr, Newton Jr, Einstein Jr, ia mampu juga menjadi Hans Andersen Jr yang aktif dalam mading sekolahnya juga dalam koran harian kecil-kecilan di kotanya. Ia pun berhasil lulus ujian masuk universitas ternama dan sekarang ia bergelut di bisnis perhotelan warisan orangtuanya yang langsung melebar di berbagai penjuru dunia hasil dari kerja kerasnya.
Dan semua keberhasilannya itu didapatnya dari kekuatan tempatnya bersandar: Aleeta. Remaja yang pikirannya sudah melampaui pikiran orang dewasa, memberi semangat saat Fae terjatuh, memberi senyuman saat hati Fae menangis, memberi keajaiban saat Fae putus asa dan memberi setiap kenyamanan yang membuat Fae merasa bahwa dia tak sendiri di dunia yang tak pernah begitu manis ini.
“ Memperbaiki apa yang masih bisa diperbaiki,” ucapnya saat apa yang Fae berhasil wujudkan malah menjadi hancur berantakan.
“ Berjuang selalu untuk kebaikan yang lebih besar,” kutipnya dari salah satu novel favoritnya karya JK. Rowling. Ia mengatakan itu saat Fae belum berhasil memperbaiki apa yang sudah hancur.
Dan saat Fae menyerah karena belum berhasil juga memperbaiki itu semua, Aleet mengutip lagi dari salah satu novel yang pernah dibacanya, “ Yang perlu dilakukan manusia ketika ia ingin melakukan sesuatu adalah ia tinggal mempercayainya, berusaha mempercayainya dan mempercayai bahwa ia harus berusaha menggapai keinginannya itu.”
Kemudian dengan suaranya yang manja dan kekanak-kanakan, ia menyanyikan soundtrack film Barbie kesukaannya, “ Just waiting the miracles... Maybe dreams come true...” terkadang sambil menari-nari berkeliling ruangan kerja Fae, kakinya yang panjang menyisir lantai dengan gerakan penari balet amatiran yang kadang ia selingi dengan joget-joget dangdut aneh, membuat Fae tertawa dan selalu tertawa saat mengingat itu.
Semua perhatian dan kasih sayang Aleet membuatnya menjadi sangat takut kehilangan sandaran lagi. Aleet yang beranjak remaja, selalu dilarangnya pulang malam, berhubungan terlalu dalam dengan teman cowoknya, melakukan hal tak berguna seperti chatting dan mengobrol di telepon seharian dengan teman-temannya pada hari Minggu. Semua waktu Aleet hanya diinginkan Fae agar ada untuknya.
Tapi Aleet hanya diam. Diam. Dan diam. Hanya sekali ia membentak Fae karena sikapnya yang overprotektif itu, “ Kakak tuh kayak pemerintah Orba aja sih... diktator banget. Nanti aja kalo kena hukuman dari Yang Berkuasa, baru tau rasa loh...,” katanya saat itu dengan bibir merahnya merengut dan alisnya yang beradu, kesal. Fae terpaku mendengar itu. Ia menarik Aleet duduk dipangkuannya, dipeluknya dengan erat dan dikecupinya wajah adiknya. Ia memang sering mengecup adiknya saat adiknya itu ngambek dan kesal. Tapi saat itu pikirannya menggantung jauh dari kesadarannya akan statusnya sebagai seorang kakak yang seharusnya melindungi adiknya. Bibirnya berpindah dari hidung mungil sang adik ke bibir ranum di bawahnya.
“ Kakak!” Aleet berusaha menahan Fae yang memeluknya dan membawanya terebah di sofa ruang kerja. Tapi kemudian lengan Aleet perlahan melingkari bahu Fae, dan lidah mereka saling terpaut dalam mulut masing-masing...
Dua minggu setelah kejadian itu, Aleet pulang malam dengan seorang lelaki yang sebaya denganku. Mereka keluar dari Chevrolet hitam milik lelaki itu. Aku yang sudah menunggu di teras rumah sejak senja menyempurnakan wujudnya, segera berdiri dan menatapnya dengan perasaan berbeda-beda yang tak mau bersatu; bahagia karena Aleet akhirnya pulang, tapi marah karena ia baru pulang dua jam menjelang tengah malam. Mereka berbicara sebentar dan kemudian lelaki itu segera membawa pergi mobilnya yang bagiku terlihat seperti andong, tak berharga dibanding mobil-mobil yang terparkir di garasi rumah real estate kami.
Dengan keraguan yang sangat terlihat, Aleet berlari kecil memelukku dan tersenyum sambil berkata, “ Kakaaaak! Aku pulaaaang... hehe. Uhm, udah malam ya? Ya ampunnn...”
Ia menunggu reaksiku. Tapi aku tak menyahut, aku menatap sosoknya yang masih memakai pakaian kebanggaan anak-anak SMA; seragam putih abu-abu. Lengannya masih memelukku dengan janggal dan kedua matanya menatapku dengan takut-takut. Aroma tubuhnya yang kecut sampai ke hidungku, membuat sesuatu yang bergejolak di dadaku. Ku rapatkan tubuhku dan melumat lembut bibirnya. Aleet mengelak dan mendorongku kasar. Sorot matanya tetap ada pada ketakutan namun raut mukanya merah menahan marah.
Tapi aku juga marah, sangat marah malah. Aku lemparkan padanya koran sore yang sedang aku pegang, tepat mengenai wajahnya. Dengan suara yang berat dan kesal, aku memaki, “ Kamu jelek.. Bau. Kurang ajar. Sana masuk! Bulan depan kita pindah rumah ke Lyon, Perancis. Hotel disana mesti diawasi ketat. Aku nggak mauk sendirian kesana.”
Mata Aleet yang kecil, melebar dan mulai berkaca-kaca, “ Kakak aja yang kesana! Aku gamauk ikut! Aku gamauk lagi ketemu kakak yang mesum kayak kakak!!!”
Tak menyempatkan aku untuk menyahuti ucapannya, ia berlari masuk ke dalam rumah. Ada air mata yang dibentuk matanya, kulihat sesaat sebelum ia berlari melewatiku.
***
Hubungan kami semakin kacau. Aleet hampir tak pernah berbicara kepadaku kecuali saat memanggilku keluar dari ruang kerja untuk makan. Kami sarapan dalam diam. Ia pergi sekolah dalam diam dan aku pergi ke kantor dengan diam. Malam hari aku pulang dan ia masih diam. Makan malam kami dengan diam. Acara menonton tv yang biasanya menjadi acara kami untuk bercanda dan melepas penat seharian, kini menjadi acara yang begitu tak membuat kami nyaman karena hanya tv yang bersuara. Kami hanya diam.
Apabila sudah terlalu malam, aku hanya menegurnya pelan, menyuruhnya tidur. Aleet pun berpura-pura menguap dan kemudian mengucapkan selamat malam yang dingin. Dulu ia sengaja tak menutup pintu kamarnya agar aku masuk, merapikan selimutnya, terkadang menceritakan dongeng yang kubuat sendiri atau membacakan puisi-puisi yang kubuat di tengah kesibukanku atau menceritakan buku-buku yang baru saja aku baca dan kemudian aku memberinya ‘sun kening sebelum bubu’.
Sekarang pintunya malah tertutup dan bahkan ia menguncinya. Tapi hari Minggu kemarin aku melihatnya tertidur di sofa ruang tamu dengan tangannya menggenggam secarik kertas berisi puisiku yang paling disukainya; Lukisan Hujan Berpelangi di Hatiku. Puisi itu kami buat bersama-sama saat peringatan 9 tahun meninggalnya ayah dan ibu, sebagai ungkapan rindu kami pada mereka.
Pagi masih belum menukar waktu
dan gelap; merinduku.
Mungkin bila benar masih terjaga,
kau masih bisa melihatku; merindumu.
Dan lukisan hujan di pipiku;
lihatlah ada bentuk indah tetesan mataku..
garis-garis merah senja hatiku..
Lukisan ini ku bentuk di pipiku.
Aku ingin meminta maaf padanya, mengobrol bagaimana sebenarnya aku menyesali semua ini, memandangnya kembali dengan sorot kasih sayang seorang kakak... Namun tampaknya ia selalu menghindar saat aku hendak membicarakan hal itu.
Seperti biasa, kini ia sering pulang malam dan selalu diantar pulang oleh lelaki dengan Chevrolet hitam itu. Mengetahui kebiasaan barunya itu, aku selalu menunggu kedatangannya di teras rumah, tanpa berani melarang-larangnya lagi. Tapi, malam ini sudah lewat jam 00.00 dan ia masih belum jua pulang. Aku sudah meneleponnya berkali-kali sejak 30 menit yang lalu, tapi tak ada jawaban.
01.05, dan aku mulai menyesal tak menanyakan pada Aleet siapa lelaki itu sebenarnya.
01.21, dan aku mulai marah kenapa aku membiarkannya menjadi perempuan tak baik yang selalu pulang malam.
02.22, dan aku mulai kecewa kenapa ia tak begitu mempedulikanku lagi.
03.24, dan aku mulai sedih kenapa ia melakukanku seperti ini.
04.06, dan aku mulai sakit menyadari kesalahanku padanya.
04.14, dan aku mulai bingung harus seperti bagaimana untuk memperbaiki semua ini.
Tiba-tiba sebuah mobil masuk ke halaman rumahku yang luas, bukan.. bukan sebuah, tapi ada dua. Oh, ada lagi ternyata di belakangnya, jadi ada tiga. Dan semuanya mobil berwarna abu-abu dengan lampu khas polisi di atapnya. Aku segera berdiri gugup. Polisi berjumlah enam orang itu keluar dari mobil dinasnya masing-masing dan berjalan tegap menghampiriku. Seorang diantaranya maju lebih dekat dan bertanya dengan suara timbrenya yang khas, “ Apa benar disini kediaman Pak Faegelhoutam Phinweel Jr?”
“ Ya, benar. Ini rumah saya. A.. Ada apa, Pak?”
“ Adik Anda bernama Aleeta Phinweel Jr, siswi SMA 43. Benar begitu?”
“ Ya, Pak. Aleeta adik saya. Ada apa, Pak? Ada apa dengan adik saya?!”
Polisi itu menghela nafas pelan dan merendahkan suaranya, “ Mohon maaf, Pak. Kami menemukan adik Anda dalam keadaan tak bernyawa di taman pusat kota tengah malam tadi. Jasadnya sudah kami bawa ke rumah sakit untuk divisum. Diduga ia dibunuh oleh seorang lelaki yang mengendarai Chevrolet hitam yang kini diketahui milik salah satu anak keluarga Rinity, pemilik hotel Rinity Bersaudara.”
“ Rinity bersaudara?! Mereka yang dulu membunuh orangtua saya, Pak! Sekarang... adik saya juga?! Jangan sampai mereka lolos lagi seperti sepuluh tahun lalu, Pak!!! Silahkan mereka ambil semua hotel keluarga kami, tapi jangan ambil adik saya! Jangan!!!” aku menjerit mengeluarkan semua amarahku. Beberapa polisi menenangkan aku.
“ Ya, Pak. Pihak kepolisian saat ini sedang melakukan pemeriksaan dengan sebaik-baiknya. Dan...”
Dan semuanya menjadi gelap dirasakan Fae. Lebih gelap dibanding gelap kamarnya malam ini, karena kamar itu masih mampu diterangi cahaya lampu berbentuk pelangi pemberian Aleet. Tapi dengan gelapnya itu, dia mampu melihat jelas terang dan indahnya detik-detik yang pernah mereka genggam bersama.
“ Memperbaiki apa yang masih bisa diperbaiki,” Fae menggumam pelan, tersenyum dalam kekalutan, kesedihan, kesakitannya, juga kebahagiaannya dengan Aleeta. adiknya itu.
Pagi masih belum menukar waktu
dan gelap; merinduku.
Mungkin bila benar masih terjaga,
kau bisa melihatku; merindumu.
Dan lukisan hujan di pipiku;
lihatlah ada bentuk indah tetesan mataku..
garis-garis merah senja hatiku..
; lukisan ini ku bentuk di pipiku.
Aku masih selalu menanti pagi
yang tak mengerti benar
bagaimana merindu.
Karena malam terlalu gelap untuk kau tatap;
lukisan hujan berpelangi selalu
dihatiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar