Selasa, 18 November 2008

RONGGENG DUKUH PARUK


Judul buku : Ronggeng Dukuh Paruk
Pengarang : Ahmad Tohari
Ukuran : 15 x 21 cm
Tebal : 397 halaman
Terbit : 1986, recover Januari 2003
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

Ronggeng Dukuh Paruk merupakan karya trilogi dari Ahmad Tohari, terdiri dari Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus, dan Jantera Bianglala. Ciri khas Tohari dalam setiap novelnya terdahulu juga terasa kental di novel ini. Kesan deskriptif yang kuat dan begitu membangunkan bulu-bulu khayalan pembaca, juga ragam bahasa daerah yang menguatkan lugunya kesan kedesaan.
Memainkan Rasus dan Srintil sebagai peran utama, dilatarbelakangi masa politik kapitalisme pada zaman itu, Tohari berhasil mengusik pembaca untuk menuntaskan cerita sampai halaman terakhir.
Tokoh Rasus remaja yang polos, sederhana dan selalu membuka khayalannya tentang bagaimana sosok ibunya yang tak pernah dilihatnya sejak masih bayi. Hingga ia kemudian memutuskan untuk menempatkan bayangan ibunya itu pada diri Srintil, temannya sesama warga Dukuh Paruk yang kemudian dinobatkan sebagai Ronggeng.
Srintil hidup dalam keluarga kekolotan, penuh kebanggaan diri dan suka dengan uang. Ia menjadi Ronggeng yang selama 12 tahun dinanti Dukuh Paruk. Sejak memiliki jiwa Ronggeng, secara itu pula Srintil menjadi milik seluruh warga Dukuh Paruk. Namun perhiasannya yang berharga, yaitu keperawanannya, secara tulus ia serahkan pertama kalinya kepada Rasus pada malam Bukak Kelambu.
Dukuh Paruk dengan kemesuman dan kekolotannya mulai mengalami epik berkepanjangan sejak Srintil meronggeng diluar daerah dan dituduh sebagai anggota PKI. Dan elegi yang berkaitan antara dirinya, Rasus dan juga Dukuh Paruk menjadi sangat mengharu biru pembaca.
Alur cerita novel ini mengalun begitu tenang dan membuai pembaca, hal itu membuat setiap bagian cerita yang semestinya mendebarkan menjadi terasa biasa saja dan membuat pembaca menunggu apa selanjutnya yang ditampilkan kisah itu.
Bahasa penceritaan yang digunakan Tohari sangat menghidupi kisah Dukuh Paruk dan tokoh-tokoh didalamnya. Hanya saja beberapa bahasa daerah yang terkesan kasar tampaknya terlalu berlebihan untuk digunakan dan sulit dimengerti pula. Ukuran font yang digunakan juga terlalu kecil sehingga tidak mudah dibaca.
Dibandingkan dengan Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis, Ronggeng Dukuh Paruk terkesan lebih komunikatif dan lebih indah pendeskripsiannya. Terlepas dari semua itu, adanya novel Ronggeng Dukuh Paruk menambah keanekaragaman sastra Indonesia dan mendapat pujian hampir dari setiap lapisan masyarakat.

Tidak ada komentar: