Selasa, 18 November 2008

PRITA

Prita sibuk menyusun kata-kata untuk puisinya. Matanya hanya tertuju pada jendela kelas yang menujukkan padanya bahwa cuaca diluar sedang hujan. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya. Sudah 7 tahun kami bersahabat, tapi tak sekalipun aku bisa menebak jalan pikirannya.

Aku melihat jam. Pelajaran bahasa Indonesia masih satu jam lagi. Sekarang, aku masih memikirkan tema puisiku. Aku benar-benar tidak menyukai ini. Prita yang pandai membuat puisi sudah menyerahkan tugas tadi. Sepertinya di kelas hanya aku yang belum selesai. Bu Sarah menghampiriku dan melihat tugasku.

“ Andisa, kenapa tugasnya belum selesai juga ?”, tanya Bu Sarah dalam bahasa isyarat.

Aku hanya tersenyum. Malu untuk mengakui bahwa aku tidak punya bakat berpuisi. Berbeda dengan Prita yang di buku tulisnya selalu tertoreh angka 8 atau 9 pada pelajaran membuat puisi. Tetapi Prita dan juga teman sekelas kami tentunya walaupun mampu membuat puisi, kami tak bisa membacanya. Bukan karena malu atau grogi. Tapi kami ini penyandang cacat. Keterbatasan fisik inilah yang membuatku duduk disini, di SLB Tunas Indonesia.

Sebagian temanku ada yang kurang mampu. Sedangkan aku sangat merasa beruntung. Ayahku adalah seorang dokter spesialis kulit dan ibuku berprofesi sebagai arsitek. Sepanjang pengamatanku, ayah dan ibu tidak pernah merasa malu atau kecewa terhadapku. Mereka sangat baik. Saat aku masih kecil, seringkali kusangka aku ini anak pungut. Kekhawatiranku ini sempat membuatku memilih untuk kabur dari rumah. Tapi niat itu urung aku lakukan ketika aku menyadari bahwa wajahku sangat mirip dengan ayah dan ibu. Bahkan lebih mirip dibanding dengan ketiga adikku.

Bukti bahwa ayah dan ibu sangat menyayangiku tercermin melalui namaku, Andisa Mentari Davita. Nama ‘Andisa’ diambil dari singkatan ‘anak Rahardi Barito dengan Malisa Soekandar. Sedangkan ‘Davita’ diambil dari bahasa Inggris ‘davit’ yang artinya dewi. Jadi, aku diharapkan menjadi seorang dewi mentari yang membawa kehidupan dan cahaya di setiap rongga-rongga kehidupan.

***

Jam terus berdetak menandakan waktu tak pernah kembali lagi. Aku sedang di kamar membuat sebuah gambar di sehelai lembaran kertas. Setelah selesai, aku turun ke ruang keluarga untuk menunggu ayah menjemput Prita dari sekolah.

Prita termasuk anak dari keluarga kurang mampu yang ada di sekolahku. Ayahnya meninggal dua hari sebelum Prita lahir karena gangguan pada paru-parunya. Sebenarnya jika ayahnya masih ada, mungkin keadaan ekonominya tidak akan buruk seperti ini. Pekerjaan ayahnya dulu lumayan untuk hidup mapan karena ayah Prita adalah seorang pilot. Setelah Prita lahir, keadaan jadi benar-benar buruk karena ibunya tak pernah bekerja di luar rumah. Untungnya ibunya masih punya tabungan dan warisan yang cukup banyak walaupun hanya untuk beberapa tahun. Dan setelah tabungan itu menipis, ibu Prita yang biasa kupanggil Tante Rida bekerja sebaigai kepala bagian rumah tangga SLB Tunas Indonesia hingga kemarin. Ya, hanya hingga kemarin. Karena Tante Rida telah meninggal dunia tadi pagi.

Ibu duduk menemaniku menunggu Prita. Mulai saat ini, Prita tinggal di rumah ini karena ia tidak punya saudara. Sekitar beberapa menit kemudian, Prita turun dari mobil bersama ayahku disampingnya. Matanya yang sembab menyiratkan sebuah kepiluan yang luar biasa. Walaupun begitu, ia mencoba menyembunyikannya dariku. Aku tersenyum sembari menyembunyikan rasa iba padanya. Aku tersenyum yang kuperlihatkan padanya untuk menandakan bahwa ia tidak pernah sendirian. Ada aku yang selalu setia disampingnya.

***

Pukul 11.50, aku terbangun karena lapar. Lalu aku turun ke lantai bawah untuk mengambil beberapa cemilan. Lampu semua ruangan belum dinyalakan. Setelah mengambil sebatang coklat susu dan seporsi pasta keju yang mulai dingin, aku kembali ke kamar.Prita yang tidur di kamarku tetap tertidur pulas. Tidur yang damai dalam kesedihan.

Aku memperhatikannya. Aku selalu kagum padanya. Prita adalah orang paling optimis dan paling semangat menghadapi hidup walaupun kami adalah penyandang tuna rungu. Selalu tertanam di pikirannya untuk menjadi seperti Helen Keller yaitu seorang penyandang cacat ganda, tuna netra dan tuna rungu yang menjadi lulusan penyandang cacat pertama di Universitas Harvard dengan nilai summa cum laude. Prita memang ingin untuk belajar hingga ke tingkat universitas.

Ia sadar itu tidaklah mudah bagi orang seperti kami. Tapi ia meyakini bahwa tiada yang tidak mungkin.

***

Hari ini, aku ditunjuk sebagai pembicara di acara launching buku kumpulan puisi karyaku. Buku itu menjadi best seller dan puisi yang paling disukai adalah puisi yang berjudul ‘Prita’. Aku memang mengisahkan kisah hidup Prita dalam sebuah puisi. Aku berdiri sebagai sastrawati. Di sampingku, ada penerjemah bahasa isyarat yang setia mengutarakan maksud ‘bahasaku’ kepada audiens. Aku sendiri terkadang merasa heran bagaimana bencinya aku terhadap pelajaran membuat puisi.

Prita, sekarang juga menjadi orang sukses. Ia memimpin sebuah perusahaan furniture terbesar. Selain itu, beberapa tahun lalu kami membuat negeri ini gempar karena kami adalah wanita penyandang cacat pertama yang lulus dengan nilai tertinggi di salah satu universitas termuka di ibukota.

Mempunyai seorang kawan seperti Prita seperti mempunyai seorang malaikat yang selalu membisikkan kata-kata semangat walaupun aku tidak bisa mendengar.

Tidak ada komentar: