Selasa, 18 November 2008

TAUFIQ ISMAIL


Nama : Taufiq Ismail
Lahir : Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1935
Pendidikan :
SMP di Bukittinggi, SMA di Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas Indonesia (sekarang IPB), tahun 1963 mengikuti International Writing Program, University of Iowa, Iowa City, Amerika Serikat 1971--1972 dan 1991—1992, Faculty of Languange and Literature, American University in Cairo, Mesir, 1993.
Profesi : Penyair dan Penterjemah
Karier :
Pengajar di Fakultas Peternakan IPB (1962-1965),Pengajar di Fakultas Psikologi UI (1967),Sekretaris DPH-DKJ (1970-1971),Wakil General Manager PKJ-TIM (1973),Ketua LPKJ (1973-1977),Redaktur Puisi Majalah Horison (1966),Kolumnis (1966-1971),Manager Hubungan Luar PT Unilever Indonesia.
Karya :
Tirani, Birpen KAMI Pusat (1966), Benteng, Litera ( 1966), Buku Tamu Musium Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta (buklet baca puisi) (1972), Sajak Ladang Jagung (1974), Kenalkan, Saya Hewan, sajak anak-anak (1976), Puisi-puisi Langit (1990),
Tirani dan Benteng (1993),Prahara Budaya (1995),Ketika Kata Ketika (1995),
Seulawah Antologi Sastra Aceh (1995) Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1998),
Dari Fansuri ke (2001),Horison Sastra Indonesia, empat jilid meliputi Kitab Puisi (1), Kitab Cerita Pendek (2), Kitab Nukilan Novel (3), Kitab Drama (4) (2002),Mengakar Ke Bumi Menggapai Ke Langit (2008)
Prestasi :
Memenangkan beasiswa American Field Service Interntional School guna mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Wisconsin, AS, angkatan pertama dari Indonesia (1956-1957),
Penghargaan :
Anugerah Seni dari Pemerintah RI (1970), Cultural Visit Award dari Pemerintah Australia (1977),South East Asia (SEA) Write Award dari Kerajaan Thailand (1994), Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994),Sastrawan Nusantara dari Negeri Johor,Malaysia (1999),Doctor honoris causa dari Universitas Negeri Yogyakarta (2003),
Boigrafi :
Kadang-kadang orang lupa, bahwa penyair yang menyenandungkan amarah angkatan muda pada penghujung 1965/1966 adalah seorang dokter hewan. Maka di awal 1980, ia membacakan puisi di teater tertutup TIM, Jakarta, ditemani oleh Trio Bimbo ia pun muncul dengan sajak-sajak yang bercerita tentang manusia dan hewan. Sementara banyak tingkah laku manusia ditiru hewan, menurut Taufiq tak sedikit pula perangai hewan yang diambil alih manusia. Suatu kumpulan puisi yang ditulisnya untuk anak-anak, berjudul Saya Ini Hewan, akhirnya ditetapkan sebagai bacaan Inpres. Lahir di bukittinggi, besar di Pekalongan, penyair yang banyak menulis lirik untuk lagu-lagu Bimbo ini.
Lulus dari fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan Universitas Indonesia, Bogor (sekarang IPB) tahun 1963, Taufiq kemudian mengajar di sana dan di fakultas Psikologi UI, sejak tahun 1967. Namanya terkenal kemasyarakat luas setelah ia menerbitkan puisinya yang merekam dan menyuarakan suara protes kesedihan dan harapan para mahasiswa yang berdemontrasi melawan pemerintahan Soekarno di tahun 1966. Kumpulan sajaknya, Tirani, disusul dengan Benteng. Larisnya bukan main waktu itu, walaupun dicetak dalam bentuk sederhana. Semasa menerbitkannya pertama kali, Taufiq mempergunakan nama samaran. Maklum, sebagai penanda tangan Manifes Kebudayaan yang dilarang Bung Karno ia tak boleh menulis.
Pada Tahun-tahun yang sibuk itu juga lahir kumpulan sajaknya Tirani. Taufiq penyair yang produktif. Selagi memangku jabatan Ketua LPKJ (periode 1973-1977) ia tak pernah absent menulis dan membacakan sajak. Puisinya penuh dengan imaji-imaji yang teliti, menunjukan Taufiq seorang pengamat sekitar yang peka. Dalam perkembangan puisinya kemudian, ia memasukan humor dan kecerahan.
“Saya merasa lebih dekat dengan Allah bila bersajak”, ujarnya. Keakraban dengan Allah ini juga kiranya yang menapasi lirik yang ditulisnya untuk lagu-lagu Bimbo, yang kemudian direkam dalam satu kaset produksi Remaco Qasidah 78. Di kaset itu ia berkisah tentang para nabi satu persatu.
Menikah pada tahun 1971 dengan Esijati Jatim yang ketika itu mahasiswi IAIN Jakarta jurusan Pendidikan Pada pernikahannya, Buya Hamka yang membacakan doa sedangkan Moh. Natsir berkhotbah.
Taufiq selain menulis puisi agama juga menulis untuk banyak hal dan publik. Puisinya berjudul Rasa Santun yang Tertidur disiarkan berbagai Koran Jakarta dalam rangka Hari Kemanusiaan sedunia 1978. Sajak itu menggambarkan masyarakat yang terlupa memikirkan nasib mereka yang mendekam di tahanan. Masyarakat yang rasa santunnya tertidur. “Saya menulis puisi itu karena rasa malu kata Taufiq. Malu pada diri sendiri. Karena saya merasa selama ini tidak pernah berbuat apRata Penuha-apa untuk mereka yang ditahan”, ujarnya.

Tidak ada komentar: